Sabtu, 28 April 2012
PUTUS SEKOLAH: 30 Siswa di Klaten Putus Sekolah Jelang UN
Realisasi Beasiswa Putus Sekolah Pemprov DKI Mengecewakan
Senin, 16 April 2012
Meski Sangat Menderita, Pemerintah Tak Pernah Lakukan Intervensi Anak-anak Jalanan
Anak Jalanan Pun Ingin Sekolah
Yohannes menuturkan alasannya memilih hidup menjadi anak jalanan, karena faktor keluarga. Saat ia masih kelas 2 sd, orang tuanya bercerai. Sebelum ibunya lari dari rumah, semua barang-barang dijual habis. Ibunya lalu kabur tanpa meninggalkan uang sepeserpun kepadanya dan kelima saudaranya.
Data Jumlah Anak Jalanan di Indonesia
Dewasa ini, pertumbuhan anak jalanan di Indonesia semakin meningkat, terutama di kota-kota besar. Jakarta adalah salah satu contoh, dimana kita akan sangat mudah menemui anak jalanan di berbagai tempat, mulai dari perempatan lampu merah, stasiun kereta api, terminal, pasar, pertokoan, dan bahkan mal. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa biasanya mereka memang dikoordinir oleh kelompok yang rapi dan profesional, yang sering disebut sebagai mafia anak jalanan.
Kick Andy Foundation Bantu Anak Jalanan
Adapun anak-anak yang mendapat bantuan berasal dari PAUD Lazuardi dan komunitas Sahabat Anak Mangga Dua. Bantuan amal tersebut berasal dari charity bazaar yang dilaksanakan 7-10 April lalu di Plaza Indonesia.
Menurut Direktur Operasional Pansophia Foundation, Elaine Marlene, penyaluran bantuan dilakukan secara bertahap. "Untuk di Mangga Dua ada 180 anak. Kemudian pada minggu berikutnya di Jeruk Purut, pada 21 April akan kami salurkan bantuan untuk 250 anak. Dan hari selanjutnya 22 April, kami akan menyalurkan ke anak jalanan di Cikini dan Menteng yang jumlahnya mencapai 300 anak." Sisanya, akan diserahkan kepada komunitas sahabat anak di Dadap, Cengkareng.
Kick Andy Foundation Bantu Anak Jalanan
Sabtu, 14 April 2012
Informasi Tournament Futsal Bina Sarana Informatika (BSI) Cup V 2012
Jumat, 13 April 2012
Putus Sekolah ? Lantas Salah Siapa?
Ironi Putus Sekolah
Sejak 2009, pemerintah mengklaim telah memenuhi amanat UUD 1945 dengan mengalokasikan minimal 20 persen APBN untuk bidang pendidikan. Meski total dana pendidikan minimal sekitar Rp 200 triliun per tahun dibagi-bagi ke berbagai kementerian dan lembaga, serta pemerintah daerah, dan Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas) hanya mengelola Rp 50 triliun sampai Rp 60 triliun, kenaikan anggaran pendidikan cukup signifikan. Bahkan sebelum amanat itu dipenuhi, sejak 2005 pemerintah telah meluncurkan program bantuan operasional sekolah (BOS) untuk menunjang program wajib belajar (wajar) sembilan tahun.
Sayangnya, di tengah kenaikan anggaran pendidikan dan besarnya perhatian pemerintah terhadap pendidikan dasar dan menengah, masih terdapat anak Indonesia yang putus sekolah. Kita tercengang mengetahui jumlah anak SD sampai SMA yang putus sekolah pada 2010 mencapai 1,08 juta. Angka itu melonjak lebih dari 30 persen dibanding tahun sebelumnya yang hanya 750.000 siswa. Tak hanya itu, masih ada 3,03 juta siswa yang tak bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang SMP, SMA, dan perguruan tinggi.
Setidaknya ada empat persoalan yang membuat angka putus sekolah masih cukup tinggi. Pertama, kemiskinan yang hingga kini belum sepenuhnya teratasi. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan pada Maret 2011, terdapat 30,02 juta orang miskin atau hanya turun 1 juta orang dibanding tahun sebelumnya. Kemiskinan jelas menjadi momok dalam dunia pendidikan. Program sekolah gratis untuk tingkat SD dan SMP yang didengungkan pemerintah, ternyata belum sepenuhnya terealisasi. Di sana-sini masih terdengar kabar maraknya pungutan liar (pungli) terhadap siswa baru. Demikian juga saat kenaikan kelas, masih saja ada sekolah yang memungut sejumlah uang dari siswa. Belum lagi untuk pembelian buku dan lembaran kerja siswa (LKS), meski pemerintah memiliki program BOS buku dan buku sekolah elektronik (BSE). Semua itu membutuhkan biaya tak sedikit dan pasti sulit dipenuhi keluarga miskin.
Kedua, minimnya kesadaran tentang pentingnya pendidikan, terutama pada keluarga miskin. Selama ini mereka hanya berpikir pendek untuk memenuhi kebutuhan hidup. Tak heran bila anak-anak usia sekolah dari keluarga miskin justru “dikaryakan” orangtuanya di berbagai sektor informal. Saat jam-jam sekolah, terlihat anak-anak mengamen di jalanan, mengemis, atau membantu orangtua di kebun dan laut. Padahal, pendidikan merupakan jalan emas menuju perbaikan kualitas kehidupan.
Ketiga, kondisi geografis yang menjadi kendala anak-anak bersekolah. Di kawasan timur Indonesia, ada banyak anak yang harus berjalan berpuluh kilometer atau berperahu mengarungi lautan agar bisa sekolah. Kondisi geografis yang tak menguntungkan itu membuat sebagian anak lebih senang berdiam di rumah daripada menimba ilmu di sekolah.
Keempat, alokasi anggaran pendidikan yang tak tepat sasaran dan minim pengawasan. Peningkatan anggaran pendidikan yang signifikan ternyata belum diikuti pemanfaatan yang tepat. Sebagian besar anggaran pendidikan justru lebih banyak digunakan untuk memenuhi kebutuhan birokrasi, daripada meningkatkan kuantitas dan kualitas sarana-prasarana pendidikan.
Penyelewengan pun tetap berlangsung dalam pengelolaan anggaran pendidikan. Pada 2007 sampai semester pertama 2008 misalnya, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan sejumlah kasus penyimpangan dalam pelaksanaan BOS. BPK menemukan 2.592 sekolah (62,84 persen) tidak mencantumkan seluruh penerimaan dana BOS dan dana pendidikan lainnya dalam rancangan anggaran pendapatan dan belanja sekolah. Nilainya mencapai Rp 625 miliar. Dana BOS Rp 28,14 miliar digunakan tidak sesuai peruntukannya. Buku yang dibeli dari dana BOS buku Rp 562,39 juta tidak sesuai panduan, serta sebanyak 47 SD dan 123 SMP di 15 kabupaten/kota belum membebaskan biaya pendidikan bagi siswa miskin. Semua itu membuktikan pengelolaan anggaran pendidikan masih amburadul dan gampang diselewengkan.
Terkait hal itu, kita mendesak pemerintah lebih serius memberantas kemiskinan yang sesungguhnya menjadi akar dari berbagai persoalan di negeri ini. Dana triliunan rupiah yang tersebar dalam berbagai program pemberantasan kemiskinan hendaknya dikelola oleh satu institusi agar tidak terjadi inefisiensi dan duplikasi. Program yang “memberi kail” seharusnya lebih diprioritaskan daripada program “memberi ikan”.
Demikian juga dengan anggaran pendidikan, sebaiknya dikelola sepenuhnya oleh Kemdiknas. Bila itu dilakukan, beasiswa bagi siswa dari keluarga miskin dan keluarga yang mendekati miskin bisa diperbanyak dan sekolah-sekolah berasrama dapat dibangun di wilayah kepulauan. Dengan demikian, kita tak perlu menunggu hingga 2014 untuk membebaskan anak Indonesia dari tragedi putus sekolah.
Subsidi, Pangkas Angka Putus Sekolah
Melalui Kemendikbud anggaran SSM ini akan dikucurkan lebih kurang Rp40 miliar. Dan jumlah ini dikhususkan untuk wilayah Sumut pada 2012 ini. Sesuai judulnya, SSM ini dimaksudkan untuk meminimalisir angka putus sekolah dari siswa miskin di daerah ini.
Mekanisme penyaluran SSM 2012 ini berbeda dengan sebelumnya. Untuk SSM ini, data siswa yang memperoleh SSM langsung dari kabupaten/kota di Sumut. Sehingga Disdik Sumut tidak memiliki jumlah data siswa Sumut yang memperoleh SSM tersebut. Namun, kita harapkan, SSM ini bisa langsung disalurkan kepada siswa yang benar-benar miskin dan data jumlah siswa yang menerima subsidi tersebut secara langsung diberikan pihak kabupaten/kota ke pusat.
Benar, SSM 2012 ini langsung ditangani pusat dalam hal ini Kemendikbud. Pusat yang langsung berkoordinasi dengan kabupaten/kota untuk memperoleh data siswa yang berhak memperoleh SSM itu. Disdik Sumut di sini hanya sebagai pengawas dalam hal pemilihan siswa, apakah siswa yang disarankan ke pusat benar-benar patut mendapatkannya atau tidak.
Untuk 2011 lalu, jumlah siswa penerima BSM mencapai 121.963 siswa. Dengan jumlah bantuan 360 ribu per siswa per tahun. Sementara untuk 2012 ini, melalui APBN-Perubahan 2012, pemerintah menyiapkan dana tambahan sebesar Rp2 triliun untuk program SSM ini.
Semula siswa jenjang SD berhak menerima Rp350 ribu, kemudian dinaikkan menjadi Rp450 ribu. Siswa SMP yang semula menerima Rp450 ribu jadi Rp750 ribu. Sedangkan siswa SMA menerima Rp1 juta dari yang semula hanya menerima Rp750 ribu. (*)
Rabu, 11 April 2012
6 Ribu anak putus sekolah, program Wajar belum optimal
Berdasar sumber Diknas Jatim, Surabaya masuk kategori kota terbaik untuk pelaksanaan wajar 12 tahun. Namun, masih adanya ribuan anak putus sekolah di Surabaya, sangat tidak sepadan dengan sukses program wajar 12 tahun.
"Surabaya memang dijadikan sebagai kota pelopor dalam pelaksanaan wajar 12 tahun," kata Kepala Bidang Pendidikan Menengah dan Kejuruan (Kabid Dikmenjur) Dispendik Surabaya, Ruddy Winarko ketika dihubungi, Selasa (21/2).
Dia juga mengakui, terdapat kesulitan dalam pendataan siswa yang putus sekolah, karena sulitnya identifikasi dari berbagai jenjang pendidikan. Meski demikian, kata Ruddy, pihaknya tetap menjalankan program wajar 12 tahun yang dijadikan prioritas. "Kendala itu pasti ada. Tapi dibanding kota lainnya, Surabaya masih yang terbaik untuk pelaksanaan wajar 12 tahun," ujarnya.
Hal senada juga disampikan, Plt Kadispendik Surabaya M Taswin. Anak putus sekolah tersebut, terinci dalam jenjang pendidikan yang ditempuh. Sayangnya, hingga kini, Dispendik masih melakukan identifikasi guna mengetahui validasi keberadaan anak putus sekolah tersebut. "Kami akan menangani masalah itu (anak putus sekolah, red). Rata-rata dari berbagai jenjang pendidikan," ujarnya ketika dikonfirmasi terpisah.
Ia menjelaskan, validasi data untuk anak putus sekolah itu sebagai upaya penanganan berkelanjutan dalam terapan wajar 12 tahun di Surabaya. Diakui, saat ini Dinas Pendidikan (Dispendik) Surabaya telah mengerahkan petugas dan jajaran di bawah untuk mendata keberadaan anak-anak putus sekolah tersebut.
"Termasuk RT/RW juga kami minta bantuan mendata. Setelah itu, kami akan buat pemetaan untuk kelanjutan pendidikan anak yang putus sekolah itu," tandas Taswin.[bal]
Chandra Melatih Kemandirian Anak Putus Sekolah
Generasi muda merupakan calon penerus bangsa. Sayangnya, nasib mereka masih banyak yang terabaikan. Kenyataan inilah yang mendorong Heri Chandra Santoso mendirikan Pondok Baca Ajar, di Desa Meteseh, Kecamatan Boja, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah.
Lewat pondok baca itu, Heri ingin mengembangkan potensi anak-anak putus sekolah. Saat ini, di pondok baca yang berdiri sejak 2007 ini terdapat 30 anak binaannya. "Mereka putus sekolah karena orang tua tidak mampu membiayai," ujar Heri, warga asli Dusun Slamet, Desa Meteseh.
Kegiatan yang dilakukan sehari-hari di Pondok Baca Ajar antara lain membaca buku, pelatihan bahasa inggris, belajar komputer, belajar sejarah lokal, dan membaca puisi. Heri ingin anak-anak tersebut bisa mengetahui perkembangan teknologi, namun tetap tidak melupakan sejarah kebudayaan lokal.
Ia tertarik untuk memberdayakan remaja putus sekolah ini karena memang sejak kuliah aktif dalam berbagai kegiatan sosial. Heri adalah sarjana Sastra Indonesia alumni Fakultas Sastra Universitas Diponegoro tahun 2007. "Saya juga terpanggil untuk memberdayakan mereka, karena sebenarnya ada potensi yang bisa dikembangkan," ujarnya.
Setelah lulus, ia bersama beberapa rekan-rekannya sepakat mendirikan sebuah perpustakaan sederhana untuk menampung anak-anak setempat. Ia pun meminta bantuan kepada para remaja karang taruna untuk mendukung programnya tersebut.
Awalnya, pondok baca ini hanya menempati ruang tamu milik orang tua Heri. Ketika itu, hanya ada 15 anak yang rutin datang. Heri mengumpulkan buku-buku dari sumbangan berbagai lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan sumbangan pribadi. "Kini sudah ada 2.000 judul buku," imbuh pria kelahiran Kendal, 22 Mei 29 tahun lalu. Buku-buku tersebut mulai dari buku ilmu pengetahuan, sejarah kebudayaan hingga buku cerita anak.
Selain mengenalkan kegemaran membaca buku, dua bulan sekali, Heri juga mengadakan seminar dan pelatihan penulisan cerita pendek dan pengolahan bahan-bahan plastik yang sudah jadi sampah untuk dijadikan cenderamata atau souvenir.
Mereka memanfaatkan bahan tersebut dibuat tas, topi, dan berbagai suvenir lainnya. Dari hasil kerajinan ini, dalam sebulan Heri bisa mengumpulkan omzet Rp 10 juta. Bahkan, di saat-saat tertentu, seperti akhir tahun, omzet bisa mencapai Rp 20 juta. Penjualan aneka produk plastik tersebut masih di sekitar Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Pendapatan dari usaha ini memang masih kecil. Memang dalam usaha ini, Heri tidak mengejar omzet. Ia lebih mementingkan kemandirian anak-anak itu untuk menghadapi hidupnya di masa mendatang.
Dalam menjalankan kegiatannya ini, Heri mengaku mengalami sejumlah kendala. Salah satunya adalah meyakinkan para orang tua anak-anak putus sekolah tersebut bahwa kegiatan yang ia jalankan tidak dipungut biaya alias gratis. "Awalnya para orang tua tidak mengizinkan karena khawatir dipungut biaya," ujar Heri.
Heri memaklumi karena mayoritas orang tua murid-muridnya bekerja sebagai petani kelas gurem dan buruh dengan penghasilannya yang pas-pasan.
Kendala lainnya adalah rendahnya budaya membaca di masyarakat pedesaan. "Saya berusaha meyakinkan masyarakat tentang pentingnya membaca untuk membuka cakrawala," ujarnya.
Namun masalah yang paling serius adalah tidak adanya perhatian dari Pemerintah. Bahkan, Kepala Desa Meteseh bukannya membantu kegiatan sosial ini, malah menentang adanya perpustakaan buatan Heri. "Mereka curiga saya memiliki motif-motif tertentu di balik kegiatan sosial ini," ujarnya.
Namun Heri tidak berkecil hati, dan terus menjalankan aktivitasnya. Justru banyak pihak lain yang mau mengulurkan bantuan. "Beberapa yang pernah memberikan bantuan antara lain Kompas dan Astra," ujarnya.
Meski banyak mengalami kendala, Heri yakin tetap memberikan pengaruh positif। Ia pun hanya menganggap kendala itu sebagai kerikil-kerikil kecil.
Oleh Ragil Nugroho - Rabu, 04 Januari 2012 | 14:53 WIB
RT/RW Ikut Mendata Anak Putus Sekolah
Untuk melakukan pendataan anak-anak putus sekolah, Dinas Pendidikan Surabaya pun meminta bantuan pihak RT dan RW.
"Surabaya memang dijadikan sebagai kota pelopor dalam pelaksanaan Wajar 12 Tahun," kata Kepala Bidang Pendidikan Menengah dan Kejuruan (Kabid Dikmenjur) Dispendik Surabaya, Rudi Winarko, Selasa (21/2/2012).
Pihak Dispendik Surabaya sendiri telah berupaya maksimal untuk mewujudkan program Wajar 12 tahun ini. "Kendala itu pasti ada. Tapi dibanding kota lainnya, Surabaya masih yang terbaik untuk pelaksanaan wajar 12 tahun," katanya.
Senada dengan Rudi, Plt Kadispendik Surabaya M Taswin menyatakan, hingga saat ini pihaknya masih belum bisa melakukan identifikasi untuk mengetahui validasi keberadaan anak putus sekolah tersebut. Meski demikian, Taswin mengaku, telah menangani persolan itu dengan mengerahkan petugas mereka untuk mendata keberadaan anak-anak putus sekolah.
"Termasuk RT/RW juga kami minta bantuan mendata. Setelah itu, kami akan buat pemetaan untuk kelanjutan pendidikan anak yang putus sekolah itu," tukasnya.
(rfa)
Nurul Arifin
BBM Naik, Anak Putus Sekolah Makin Banyak
"Kami khawatir, kenaikan harga BBM ini beban ekonomi masyarakat makin banyak. Lalu menyebabkan bertambahnya jumlah anak putus sekolah serta balita mengalami gizi buruk di kalangan masyarakat kecil. Sedangkan BLSM tidak cukup untuk menutupi efek kenaikan BBM," ungkap Faldo kepada JPNN di Jakarta, Kamis (22/3).
Karena itu, BEM UI menyarankan adanya realokasi anggaran dari pos-pos lain yang kurang penting agar dialihkan ke subsidi BBM. "Misalnya, dengan meminimalisir belanja birokrasi. Karena berdasarkan data tahun 2005, belanja birokrasi berkisar pada Rp 123,6 triliun, namun tahun 2012 meningkat hingga Rp 733 triliun. Sedangkan subsidi BBM sendiri pada tahun ini hanya berkisar pada angka Rp 123 triliun," papar Faldo yang mengaku tengah melakukan aksi demonstrasi di depan Gedung MPR/DPR RI siang ini.
Namun begitu, mahasiswa Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) UI ini turut mengimbau agar pemerintah harus terus menguatkan fungsi KPK serta memperketat Standard Operating Procedure (SOP) Kementerian Keuangan khususnya mengenai standar pembiayaan keuangan. "Jika semua ini bisa dilakukan pemerintah maka sangat dimungkinkan hasil yang didapat akan lebih maksimal. Bahkan, masyarakat juga dapat lebih merasakan bantuan yang diberikan oleh pemerintah," tukasnya. (cha/jpnn)
Menarik Anak Putus Sekolah kembali Sekolah
Riki merupakan salah satu pengamen cilik di Jakarta Timur. Ia mengamen untuk menambah kebutuhan keluarga. Meski mengamen, Riki terbilang masih beruntung karena tetap bisa bersekolah. Dunia tarik suara jalanan baru ia lakoni saat jam sekolah usai.
Saya Riki, kakak nggak melaporkan kita ke Satpol PP kan? (Enggak lah, Riki ngamen dari jam berapa? ) jam 16.30 sampai jam 19.00. (keinginan sendiri atau orang tua? ) Keinginana sendiri. (kenapa? ) buat beli baju olahraga, buat makan. (Ibu kerja apa? ) Ibu ngegosok buat bayar rumah. (Ibu pernah ngelarang? ) pernah, tapi aku mau sendiri.
Komnas Perlindungan anak mencatat ada 1,7 juta anak yang bernasib lebih buruk dari Riki. Mereka putus sekolah karena masalah kemiskinan. Dari jumlah tersebut, pemerintah menargetkan 10.500 anak putus sekolah tahun ini kembali ke sekolah. Ini merupakan target yang ditetapkan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi serta Kementerian Pendidikan Nasional. Juru Bicara Kementerian Tenaga Kerja Dita Indah Sari mengatakan lewat program ini pemerintah hendak mengurangi jumlah anak jalanan.
“Karena kita kerjasamanya dengan Diknas dan swasta ya kita nempel dengan program mereka, bukannya Kemenakertrans bangun sekolah sendiri, enggak. Kita dorong pihak swasta dan diknas untuk membuka lebih banyak kuota untuk pekerja anak. Nah itu makanya memang di daerah-daerah kita bentuk komite, komite pengawas pekerja anak, terdiri juga dari Diknas. Komite ini yang akan mendatangi rumah-rumah anak yang bekerja untuk meyakinkan orang tua untuk melepaskan anaknya ke sekolah. “
Meski ditarik ke sekolah, para anak jalanan ini masih bisa bekerja membantu orang tua. Syaratnya, tidak boleh lebih dari 3 jam setiap harinya. Dita Indah Sari menambahkan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi juga mendorong partisipasi Kemendiknas dan swasta mendirikan sekolah di tempat yang banyak pekerja anaknya. Misal sekolah untuk pekerja anak pemulung di Bantar Gebang.
Ide ini mendapat dukungan dari Komisi VIII DPR. Anggota Komisi Muhammad Baghowi mengatakan perlu terobosan besar untuk mengatasi besarnya jumlah anak jalanan yang putus sekolah.
“Ya saat ini dalam rangka wajib belajar 9 tahun, sebetulnya kan banyak sekali anak yang diwajibkan tetapi orang tuanya tidak begitu perhatian. Dari sisi itu memang kemarin belum dipikirkan, tapi kalau saat itu sudah dipikirkan, maka itu bagus sekali. Ini terobosan yang luar biasa untuk menjangakau anak-anak yang putus sekolah. Permasalahan yang kompleks ini saya setuju dilibatkan kementerian sosial. Walaupun Kementeria Sosial anggarannya terbatas, tapi kalau masalah anggaran bisa kita pikirkan untuk kita tingkatkan kalau untuk membantu anak yang putus sekolah.”
Ketua Komnas Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait memberikan apresiasi atas program nasional yang dilaksanakan oleh oleh dua kementerian tersebut. Namun, Aris minta pemerintah fokus pada penyelesaian akar masalah putus sekolahnya anak-anak ini.
Saya kira perlu diapresisasi, tapi itu tidak menyelesaikan masalah. Bahwa pendidikan adalah penting, menyelesaikan akar masalah juga penting. Maka perlu ada kerja sama lintas kementerian, tak hanya Kementerian Tenaga Kerja dan Kementerian Pendidikan saja. Kalau kita mau membantu anak yang terpaksa putus sekolah karena kemiskinan dan sebagainya maka perlu ada kerja sama lintas kementerian. Kementerian pendidikan, Kementerian Sosial dan Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Agama dan Kementerian Pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak itu juga harus dilibatkan.
Arist Merdeka Sirait menambahkan, anak yang putus sekolah bukan sekedar butuh sekolah, tapi juga butuh makan। Perlu ada pemetaan yang jelas untuk menghapus anak jalanan dan mengembalikan mereka mereka ke sekolah.
- Friday, 30 March 2012 14:16
- Khusnul Khotimah
- Hits: 106