Tulisan ini bukanlah sebuah penelitian, tapi bisa dibilang sebagai jejak rekam pribadi pada realita sosial.
Tempatku tinggal semakin jauh dari norma kesopanan, ada beberapa anak
muda yang hobi sekali nongkrong dan ngobrol di malam hari, kadang sampai
pagi, mereka kebanyakan adalah anak-anak putus sekolah, ingin sekali
merangkul mereka, mendengar keluhan dari orang tua mereka yang jua tak
mampu memberikan pencerahan pada sekelompok anak tanggung ini, membuatku
pesimis, merasa tak mampu.
Tak jarang banyak orang yang terganggu dengan kebiasaan mereka
mengobrol malam hari, karena tempat mereka mengobrol biasanya di
pinggir rumah orang lain, hal yang kurang baik yang kadang mereka
lakukan adalah menenggak minuman keras, apa semua ini salah mereka?
mereka putus sekolah apa berarti mereka yang memutuskan untuk tidak
melanjutkan sekolah ? ada yang merasa terganggu dengan ulah mereka tapi
hanya protes dengan keluhan.
Aku berusaha menjawab dari apa yang kutahu tentang lingkunganku,
kebanyakan orangtua berkata kasar pada anak mereka sendiri, lebih
mengedepankan emosi, kerap kata-kata kasar terlontar dengan mudahnya
gara-gara si anak minta uang sedang ibunya tak punya, merendahkan
anaknya sendiri dengan kata-kata yang mencapnya bodoh, dungu, tolol,
anak mereka teruslah yang disalahkan seakan anak mereka tidak datang
dari perut mereka.
Labelling, atau mencap seseorang bisa mempengaruhi kualitas psikis
orang tersebut, tak ayal jika banyak orang tua di daerahku pusing
karena anak mereka susah di atur, bicaranya kasar adalah hasil dari cap
orang tua pada anaknya.
Dan apakah kesalahan mereka putus sekolah padahal masih punya orang tua
? bukan mereka yang salah tapi orang tuanyalah yang tak mendukungnya
untuk sekolah, berpasrah pada takdir kalau tak memiliki biaya, buktinya
kukenal seseorang yang hanya menjadi penarik becak, dan istrinya yang
membuka warung kecil-kecilan mampu menyekolahkan lima orang anaknya
hingga lulus SMA, setelah tahu dari mana mereka mendapat uang, aku
sedikir terpana, karena kebanyakan uang untuk sekolah adalah hasil
pinjaman dari orang lain, ada keinginan maka ada jalan. di
tambah lagi sekolah yang sedikit kehilangan citranya di masyarakat
pinggiran, untuk apa sekolah kalau hanya habisin biaya, toh cuma
ijazahnya saja yang di pakai untuk cari kerja. lulus sekolahpun masih
tak tahu apa-apa, kalau sampai ada yang berpikir seperti itu, lembaga
pendidikan mesti berbenah diri untuk tak sekedar belajar untuk ujan,
selesa ujian tamat sekolah dan duarrrr,,,,, ilmu yang dimilk tak ada
bedanya dengan sebelum sekolah.
Tulisan ini hanyalah sebuah opini belaka, kita masih bisa terus belajar
untuk memperbaik segalanya. dimulai dari lini terkecil dalam
masyarakat yaitu keluarga. kabar baiknya ada seseorang yang sangat
peduli dengan pendidikan yang di mulai dari keluarga, Ayah edy dengan program indonesian strong from homenya memberikan solusi bagi perubahan norma seperti yang saya ungkapkan di atas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar